Minggu, 23 Oktober 2011

TERUNGKAPNYA MISTERI FLAGSHIP SPECIES TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI


Foto : Tim Ekspedisi Biodiversitas TNGC
Gambar : Macan Tutul Jawa ((Panthera padus melas) di Kawasan TN. Gunung Ciremai
Gambaran Umum
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) merupakan salah satu kucing besar yang masih tersisa di Pulau Jawa. Di dunia terdapat sembilan subspecies Macan Tutul (Panthera pardus) yaitu Panthera pardus pardus: Afrika, Panthera pardus nimr : Arab, Panthera pardus saxicolor : Asia Tengah, Panthera pardus kotiya: Sri Lanka, Panthera pardus fusca: India, Panthera pardus delacourii: Asia Selatan dan China bagian selatan, Panthera pardus japonensis: China bagian utara, Panthera pardus orientalis: Rusia, Korea dan China bagian tenggara.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebaran populasi Macan Tutul Jawa (Panthera padus melas) tersebar di beberapa tempat khususnya kawasan konservasi di Pulau Jawa seperti diantaranya Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Meru Betiri, TN. Alas Purwo dan TN. Baluran. Belum ada literature yang menyebutkan keberadaan kucing besar ini terdapat di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), baik penyebaran maupun jumlah populasinya, walaupun masyarakat sekitar meyakini keberadaan satwa top predator tersebut sering menampakan dibeberapa tempat yang diduga sebagai home range untuk mencari makan dan tempat beristirahat. Berkat keuletan dan kesabaran tim ekspedisi biodiversitas TNGC (Koko, Awan, dan Indra-red) ternyata kucing besar ini dapat dijumpai di kawasan TNGC. Untuk pertama kalinya kucing besar yang sudah diakui keberadaanya oleh masyarakat sekitar terbukti secara pasti. Selama ± 3 bulan melalui pemasangan camera trap yang bekerjasama dengan Conservation International (CI), tepatnya pada tanggal 3 Oktober 2011 kucing besar yang habitatnya di Blok Sigedong kawasan TNGC terbukti keberadaannya (foto atas), namun karena baru tarap identifikasi sehingga jumlah populasinya belum diketahui secara pasti. Hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, dikatakan bahwa di kawasan TNGC dapat dijumpai macan tutul dengan warna kuning kecoklatan dan macan tutul dengan warna hitam (macan kumbang).
Klasifikasi Ilmiah.
Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mammalia; Ordo: Carnivora; Famili: Felidae; Genus: Panthera; Spesies: Panthera. pardus; Subspesies: Panthera pardus melas. Nama trinomial Panthera pardus melas (Cuvier, 1809)
Status Konservasi ;
Di Indonesia keberadaan satwa ini, selain dijadikan flagship species Provinsi Jawa Barat juga dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Berdasarkan perlindungan internasional kucing besar ini masuk dalam daftar merah IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) kategori kritis (Critically Endangered; CR) yang berarti macan tutul merupakan salah satu spesies yang memiliki risiko besar akan menjadi punah di alam liar atau akan sepenuhnya punah dalam waktu dekat, serta terdaftar dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Appendix I, artinya bahwa macan tutul merupakan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.
Ciri-ciri Macan Tutul Jawa.
Macan Tutul Jawa (P.p melas) yang dimasukkan dalam status konservasi “Critically Endangered” ini mempunyai dua variasi warna yaitu Macan Tutul dengan warna dasar kuning kecoklatan dan sedikit bulu putih yang terdapat dibagian bawah perut sampai ujung ekornya. Bulu putih tersebut berfungsi sebagai sinyal yang digunakan anaknya untuk mengikuti induknya saat menempuh perjalanan terutama pada habitat semak belukar. Selain Macan Tutul dengan warna kuning kecoklatan terdapat juga Macan Tutul yang memiliki bulu hitam mengkilap, dengan bintik-bintik gelap berbentuk kembangan yang hanya terlihat di bawah cahaya terang yang biasa disebut dengan Macan Kumbang. Macan Kumbang betina serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan. Warna hitam ini terjadi akibat satu alel resesif yang dimiliki hewan ini atau sebagai akibat dari hasil evolusi dalam beradaptasi dengan habitat hutan yang lebat dan gelap. Meskipun memiliki warna yang berbeda, akan tetapi kedua macan ini adalah subspesies yang sama.
Macan Tutul Jawa (P. p melas) memiliki ukuran tubuh relatif lebih kecil dibandingkan dengan subspesies macan tutul lainnya,. Bentuk tubuhnya yang memanjang dengan kaki pendek dan telapak kaki lebar, memiliki ukuran tubuh berkisar antara 90 – 150 cm dengan tinggi 60 – 95 cm dan bobot badannya mencapai 40 – 60 kg.
Habitat
Habitat atau tempat hidup bagi big cat ini cukup bervariasi yang hampir dapat dijumpai dihampir semua tipe habitat terutama hutan dataran rendah. Namun aktifitasnya terutama saat berburu mangsanya lebih menyukai habitat semak belukar. Hal ini untuk memudahkan memantau satwa buruannya. Di kawasan TNGC keberadaan kucing besar (terutama pada malam hingga menjelang pagi hari) sering dijumpai di kawasan hutan dataran rendah terutama pada habitat semak belukar. Hal ini diduga digunakan sebagai daerah jelajah untuk mencari makan berupa kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus sp), landak (Hystrix javanica) dan mamalia kecil lainnya. Sedangkan pada siang hari satwa liar ini sering menempati habitat dengan kondisi vegetasi yang rapat terutama pada daerah lembah untuk beristirahat atau tidur, belum diketahui dengan pasti apakah diatas pohon atau di dalam gua, demikian halnya dengan penyebaran dan jumlah populasinya.


Perilaku
Macan Tutul atau Macan Kumbang merupakan kucing besar yang pandai berburu karena dilengkapi dengan indra penglihatan dan penciuman yang tajam. Dalam berburu mangsa biasanya macan tutul menggunakan segala kesempatan untuk mendapatkan buruannya. Kucing besar ini merupakan satwa karnivora yang dapat memakan hampir segala mangsa dari berbagai ukuran yang meliputi hewan menyusui, binatang pengerat, ikan, burung, primata dan binatang-binatang lain yang berada disekitarnya Hasil buruan biasanya diletakan diatas pohon yang terkadang bobot mangsa melebihi ukuran tubuhnya. Perilaku ini selain untuk menghindari kehilangan mangsa hasil buruan, juga untuk penyimpanan persediaan makanan.
Satwa ini aktif pada malam hari (nocturnal-red) dengan pola hidup soliter yang saling menghindari satu sama lainnya. Walaupun bersifat soliter pada saat tertentu seperti musim kawin dan pengasuhan anak, macan tutul akan hidup berkelompok. Pada saat musim kawin kucing besar jantan akan berkelana mencari pasangan dalam teritorinya masing-masing dan biasanya akan mengeluarkan suara yang keras untuk memanggil pasangannya. Pada setiap daerah jelajahnya (teritori-red) yang mencapai sekitar 5 – 15 km2 akan ditandai dengan cakaran pada batang kayu atau buang air kencing maupun buang kotoran.
Populasi dan Penyebaran
Macan tutul betina umumya memiliki anak antara 2-6 ekor pada setiap musim kelahirannya dengan masa kehamilan sekitar 110 hari. Karena tingkat mortalitasnya yang tinggi, betina biasanya mempunyai satu sampai dua anak, yang tinggal bersama induknya sampai macan muda berumur sekitar satu setengah sampai dua tahun. Anak macan tutul akan tumbuh menjadi dewasa pada usia 3-4 tahun dan akan bersama induknya hingga mencapai umur 18-24 bulan. Dalam pola pengasuhan anak, kadang-kadang macan tutul jantan membantu sang betina. Masa hidup di alam belum banyak diketahui tetapi di penangkaran, Macan Tutul dapat hidup hingga 21-23 tahun.
Randahnya tingkat perhatian terhadap kucing besar ini, menjadikan kurang diketahuinya jumlah populasi di alam secara pasti. Data yang dicatat IUCN Redlist memperkirakan populasinya di bawah 250 ekor (2008), namun demikian data tersebut diklaim oleh beberapa lembaga pemerintah di Indonesia, yang menyebutkan bahwa jumlah populasi satwa ini masih di atas 500-an ekor.
Penyebaran populasi di alam satwa endemic Pulau Jawa ini dapat ditemukan hampir disemua kawasan konservasi di Pulau Jawa, yang meliputi kawasan Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Meru Betiri, TN. Alas Purwo dan TN. Baluran. Sedangkan ke 8 subspesies lainnya dapat ditemukan hampir di seluruh permukaan dunia yang meliputi hampir seluruh hutan belantara Benua Afrika, kecuali Gurun Sahara, asia Kecil, Afganistan, Turkestan, Iran, India, Sri Langka, sabagian daratan Cina termasuk Cina Utara dan daerah Amur-Assuri.
Sumber ; dari berbagai sumber informasi, dokumen-dokumen dan publikasi hasil penelitian serta internet.

Rabu, 12 Oktober 2011

Gunung Ciremai sebagai Habitat Burung Langka


Kekayaan jenis burung  di kawasan Taman Nasional Gunung Ciramai (TNGC) tergolong rendah.  Jumlah jenis burung di kawasan ini dijumpai sebanyak 68 jenis (Surahman 2010), 13,76% dari kekayaan jenis burung di Pulau Jawa (494 jenis) atau 20% dari kekayaan jenis burung di Jawa Barat (340 jenis), dan 46,25% dari kekayaan jenis burung di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (147 jenis) (MacKinnon 1991).  Rendahnya kekayaan jenis burung di kawasan TNGC diduga karena Gunung Ciremai merupakan gunung api soliter, yang terpisah dari klaster gunung api lainnya. Dalam teori biogeografi pulau, kawasan TNGC dapat dipandang sebagai sebuah pulau yang dikelilingi lautan habitat yang rusak. Selain terkait dengan teori biogeografi pulau, rendahnya kekayaan jenis burung di kawasan TNGC, juga diduga terkait dengan tingkat kerusakan habitat.  Kerusakan habitat tersebut berupa perubahan fungsi hutan, dari hutan alam menjadi hutan tanaman pinus, terutama pada ketinggian 200-1.500 m dpl.  Perubahan fungsi ini menyebabkan kawasan hutan alam sebagai habitat tempat mencari makan, tempat berlindung dan berkembang biak menjadi terganggu.  Namun disisi lain, kawasan gunung ciremai merupakan tempat hidup bagi berbagai jenis  burung langka, burung sebaran terbatas maupun dilindungi undang-undang serta masuk dalam kategori hampir punah dan rentan menurut IUCN, serta terdaftar pada Appendiks II CITES.  Terdapatnya jenis-jenis burung dengan status konservasi tinggi, mengindikasikan kawasan TNGC merupakan kawasan yang sangat penting bagi upaya pelestarian burung.  Dengan demikian perlu peningkatan upaya konservasi kawasan terutama melakukan rehabilitasi dan pengkayaan jenis, sehingga terbentuk kembali ekosistem hutan yang stabil sebagai tempat bagi peningkatan populasi burung.
Salah satu burung cantik yang berstatus rentan menurut IUCN adalah Ciung mungkal jawa (Cochoa azurea) (foto atas).  Di kawasan gunung ciremai, burung ini hanya dapat dijumpai pada hutan alam ketinggian 1.500 s/d 2.400 m dpl. Burung ini gerakanya sangat lincah meloncat kesana kemari sambil mencari makan dengan mengeluarkan suaranya yang khas , terutama pada semak-semak di pinggiran sungai. Jumlah populasinya sangat terbatas, di kawasan gunung ciremai kepadatan individu burung ini hanya mencapai + 0,38 indv/ha.